Kata orang aku tak sama, kata orang aku berbeda. Selalu begitu. Tak ada yang menjelaskan dimana perbedaannya.
Aku amati, aku sama dengan yang lainnya. Bagian tubuhku lengkap, tak cacat, aku tak bodoh, aku bahkan selalu juara satu dari SD. Apa lagi yang beda??
Sekian lama kutanyakan hal yang sama kepada ayah.
"ayah, kenapa aku berbeda? Kenapa aku tak sama dengan yang lain?"
Kata ayah "kamu tak berbeda sayang, kamu hanya istimewa".
Istimewa kata ayah, aku mengangguk angguk ketika mendengarnya. Sampai akhir kelas 3sd aku tahu bahwa istimewa itu berarti aku lebih bagus.
Tapi lebih dalam hal apa?? Aku bukan gadis yang terlalu menarik, ayahku tak kaya, ayahku hanya seorang karyawan PT Pos. Hidup kami sederhana, tapi bahagia.
Aku hidup berdua dengan ayah,setahun yang lalu ibu meninggal karena radang otak. Meskipun sudah tak ada,tapi aku tak pernah kehilangan cintanya, cinta ibu pada anaknya.
Waktu mendengar ibu sakit radang otak kami semua kaget, ibu tak pernah mengeluh sakit selama ini. Tau tau hari itu dimana aku seharusnya merayakan kelulusan smpku ibu terjatuh pingsan. Ibu pingsan waktu akan berangkat ke sekolahku, ditangannya masih menggenggam undangan upacara kelulusan. Aku tak tahu waktu ibuku pingsan. Saat yang sama aku sedang berdiri di podium,karena aku pemegang nilai UAN tertinggi, detik yang sama aku menunggu. Menunggu tatapan bangga dari kedua orangtuaku.
Tapi tatapan yang kuharapkan itu tak kunjung datang. Aku cemas, perasaanku campur aduk, tak biasanya orang tuaku seperti ini. Bahkan semalam sebelumnya ibu sudah memilih pakaian yang akan beliau kenakan. Baju berwarna biru muda senada dengan baju ayah. Baju yang akan membuatnya sangat cantik. Tapi aku tak melihatnya,mereka tak datang. Aku kecewa, tapi rasa khawatirku lebih besar, menepis segala amarah.
Aku pulang, sendiri. Sebenarnya orang tua dania menawarkan akan mengantarku pulang. Aku menolak, aku ingin pulang sendiri. Dadaku terasa sakit perasaan tak enak ini semakin besar. Sesampainya dirumah aku heran, om herman ada disana. Duduk di teras menungguku. Motor ayah tak ada, Berarti ayah tak ada dirumah. Lalu kemana.
Yang teringat saat itu aku buru buru ke RS, sayup ku dengar om herman berkata "ibumu pingsan, hidungnya berdarah" hanya itu yang kutangkap. Pikiranku kosong yang kuingin cepat cepat bertemu ibu. Sudah banyak keluarga disana, semua tertunduk. Aku tak mengerti apa artinya, yang terpenting ibu. Dimana ibu? Kulihat ayah menghampiriku, muka beliau keruh, tak pernah kulihat beliau seperti ibu.
Dirangkulnya aku, erat sekali, sampai sampai rasanya hampir remuk tulang ini. Tak lama badan ayah bergetar, beliau menangis, sambil mendekapku. Dibenamkannya kepalaku didadanya. Aku mendengar detak jantungnya,begitu cepat.
5menit ayahku mendekapku, aku diam berusaha memahami keadaan.
5 menit berikutnya lututku lemas, rasanya aku tak bertulang, tubuhku lunglai, bibirku tertutup rapat, mataku sungguh berat.
Aku pingsan.
Kubuka kedua mataku kepalaku pusing sekali, aku berusaha mengingat kembali kejadian lalu.
Air mataku tumpah, kututup mukaku dengan bantal. Dadaku sesak, hatiku sakit sekali, aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi yang tak perlu berlanjut. Tapi aku sadar ini bukan mimpi.
Ibu meninggal.
Kata ayah ibu divonis radang otak stadium akhir, memang akhir akhir ini ibu mengeluh sakit kepala. Kukira itu sakit kepala biasa.
Kata ayah tubuh ibu terlalu lemah, ibu melawan penyakitnya sendiri. Berjuang tanpa kawan, mempertahankan setiap detik hidupnya.
Ibu kalah, ibu kalah dalam pertarungan sengit ini.
Kata ayah , ibu cantik sekali tadi. Berbalut kebaya biru ibu siap melihat anaknya, sang pemenang julukan ibu padaku.
Aku benci, aku benci pada waktu, pada waktu yang hanya memberikan 1jam terakhirku bertemu ibu pagi ini. Sebelum ibu pergi,
Aku benci, aku membenci diriku. Yang menyalahkan ibu karena tak datang melihatku.
Aku benci, aku benci semua yang tak bisa membuat ibu kembali.
Setelah hari itu, aku hidup berdua dengan ayah. Kami menata ulang kembali hidup yang sempat mati. Bergerak perlahan namun pasti.
Ayah yang mendorongku agar aku tegar, tabah, dan tak selalu mengurung diri. Semenjak ibu pergi aku seperti membuang diriku, aku jarang makan, jarang keluar, hari hari kuisi dengan tiduran dikamar. Tak peduli tumpukan debu dikamar ini sudah berapa tebal. Aku sungguh tak peduli.
Aku membuka mata dengan enggan seperti biasa. Aku malas bangun, aku ingin melanjutkan mimpi semalam, bertemu ibu.
Aku turun dari kasur, terseok seok menuju kamar mandi. Paling paling ayah sudah berangkat. Aku selalu bangun siang.lagipula untuk apa aku bangun pagi. Kutarik pintu kamarku. Mataku terbuka lebar, mulutku sedikit melongo. Aku berdiri mematung sekian detik. Terkaget kaget, rumah begitu bersih,hmm wangi pula. Apa ibu pulang?? Ya,semenjak ibu pergi tak ada lagi yang membereskan rumah. Ayah memilih berkutat dengan pekerjaannya. Menyibukkan diri tepatnya. Tapi tidak mungkin ibu pulang, wangi apa ini? Hidungku mencium sesuatu, ini wangi masakan,masakan kesukaanku. Nasi goreng.
"ayo cepat makan" kata ayah
Ternyata ayah, ayah yang membersihkan rumah, memasak untukku. Dan satu lagi, ayah memberiku kado. Kado besar sekali.
Aku ingat sekarang, hari ini aku genap 16th.
Kata ayah kami sudah cukup bersedih, jangan diteruskan lagi. Kalau ibu tahu pasti beliau tak akan tenang. Sejak saat itu semangatku kembali muncul, aku sadar aku tak bisa terbenam dalam kesedihan, aku tak bisa menghancurkan diriku begitu saja.
Kini aku sudah berumur 17th, hari ini tepatnya.
Pertanyaan kenapa aku berbeda sudah kubuang jauh jauh. Bukankah orang memang selalu berbeda tak ada orang yang sama.
Aku duduk di teras,memandang kebun kecil kami. Menunggu ayah, hari ini kami berdua akan merayakan ulang tahunku. Aku senang sekali.
Kulihat ada 2 orang menuju rumahku. Sepertinya mereka tamu ayah,aku tak mengenal mereka. Sepasang orang tua itu seumuran ayahku tapi raut muka mereka terlihat lebih tua, seperti menanggung beban hidup yang amat berat.
Ayahku kaget melihat kedua orangtua tadi, tubuh ayahku bergetar, ayah merangkul pundakku dari belakang. Erat sekali. Kejadian ini berulang, sama seperti waktu ibu tak ada.
Ayahku mengeryitkan dahinya, aku binggung. Aku disuruhnya masuk. Wajah ayahku tegang. Aku merasakannya.
Tak lama om herman datang, sama seperti ayah wajah om herman juga tegang. Sempat kulihat kedua orang tua tadi menangis memohon mohon kepada ayah, ayah memalingkan wajahnya.
Aku tak tahu apa yang mereka minta, tapi tak pernah aku melihat kejadian ini sebelumnya. Ayah orang baik, paling baik menurutku. Ayah tak pernah punya musuh seingatku. Kulihat ayah meneteskan air mata, aku gugup. Ada apa ini?? Sepertinya mereka bukan tamu biasa. Om herman masuk dan mengajakku keluar, ayah memegang tanganku erat.seakan tak ingin dilepasnya.
Kata ayah mereka orang tua kandung, orang tua biologis.
Aku dibuang oleh mereka, dibalut kain tipis dengan tali pusat masih menempel di pusar. Aku diletakkan di kardus, tepat didepan rumahku saat ini. Mereka meninggalkanku sendiri ditemani sunyinya malam. Hujan gerimis saat itu,ayah ibuku yang baru pulang kerja kaget bukan main melihat pemandangan itu. Diangkatnya aku dari kardus, aku dirawat oleh ayah ibu. Kebetulan ibu memang tak bisa mengandung, rahimnya sudah diangkat semasa muda.
Kata ayah, aku bagai oase digurun pasir. Aku penyejuk hati mereka. Aku mutiara mereka. Ayah tak pernah mencari siapa orang tua kandungku, tak perlu kata ayah. Baginya aku ini anak kandungnya, meski tak ada ikatan darah. Kata ayah sampai kapankun aku adalah gadis kecilnya, peninggalan ibuku yang harus dijaganya. Putri semata wayang yang tak akan dilepasnya. Aku menangis, mendekap ayah kali ini aku yang memeluknya erat. Aku tak mau melepasnya. Aku merasakan sentuhan tangan dbalik badanku. Tapi aku tak mau disentuhnya. Aku tak mau disentuh oleh tangan yang telah membuangku.
Kata ayah mereka hanya ingin melihatku, mengunjungi putri mereka. Putri yang mereka tinggalkan 17th lalu.
Aku benci kedua orang itu, aku tak ingin melihatnya, aku berharap mereka tak ada. Toh mereka juga tak menginginkan aku ada. Mereka membuangku, membunuhku secara perlahan. Aku tak mau tahu dosa apa yang mereka tanggung selama ini. Yang kutahu ayah ibuku sangat menyayangiku.
Kini aku mengerti mengapa aku berbeda. Aku tak sama, aku berbeda karena aku bukan anak kandung ayah ibu, aku berbeda karena aku istimewa. Seperti kata ayah. Dan akan selalu seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar